Ceramah Nona Bertanduk

Juni 27, 2016


* * *

Prompt #120 Monday Flash Fiction
by eksak


* * *

Rampak kentongan mulai terdengar dari kejauhan. Tanda waktu sahur telah tiba. Syaraf tubuh bagian bawahku masih enggan mematuhi perintah otak. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Sekuat tenaga kuangkat kepalaku. Bah, tak tersisa kelenjar otot yang sepakat dengan kehendak ini. Syukurlah kedua bola mataku masih berfungsi. Kupaksa mereka berputar ke depan. Pemandangan yang sama sejak malam tadi. Botol-botol bernyawa meregang di atas meja. Gelas-gelas terlentang, entah ke mana isinya. Para teman juga masih terkapar. Parasnya tersenyum kesakitan, seperti menertawakan ajal.

Sekejap seperti ada yang menepuk bahuku. Lembut,selembut tepukan Abah yang mengajakku salat tarawih malam tadi.

"Ayo taraweh, Le ... " ajaknya.

Tapi aku hanya bergumam mengiyakan. Kucoba menoleh —aku tak tahu mengapa terasa mudah, padahal tadi sama sekali aku tak bisa menggerakkan kepala. Ternyata sang Nona bertanduk sudah ada di belakangku.

"Kau tahu mengapa Tuhan membiarkanku untuk selalu berbuat jahat dan berada di sisi gelap?" tanya Nona itu.

It starts and it ends, takes flight on dark wings and soars from my pen.

Aku menggelengkan kepala. Aku benar-benar tak mau mencari jawabannya dan tak sedang ingin berpikir apa-apa.

"Karena aku kekal! Karena aku tak akan mati sampai hari kiamat menjelang!" katanya sinis.

“Bukankah itu hukuman karena kau tak mematuhi perintah-Nya untuk sujud pada Adam?” tanyaku mulai antusias.

"Ya, anggap saja begitu! Tapi bagiku itu sebuah keberuntungan. Kau tahu? Aku bernegosiasi untuk mendapatkannya. Maka setiap detik hidupku adalah hak yang diberikan Tuhan dan aku boleh menggunakannya sesuka hatiku. Sementara hidupmu ... cuma hadiah!"

"Aku tak mengerti," kepalaku mulai pening lagi.

"Hidupmu cuma hadiah, Kawan! Jadi meskipun Tuhan berbaik hati, kau tetap berhutang budi pada-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sementara aku? Aku meminta hak untuk hidup sampai hari kiamat dan Tuhan memberikannya. Ini bukan hutang jadi aku tak perlu membayar apapun, kan?"

Aku heran mengapa tubuhku yang tadinya berat menjadi ringan? Jangan-jangan aku mabuk? Tapi ceramah Nona bertanduk ini memang memabukkan.

"Pertanyaannya, kalau kau terus menerus berasyik-masyuk melakukan dosa-dosa, menjadi pengikut setiaku, bukankah kau telah mengkhianati hadiah pemberian Tuhan? Kalau aku kan kekal? Jadi aku tak perlu khawatir pada apapun sebab segalanya sudah pasti. Sedang kau? Duh, kasihan Tuhan, sudah baik-baik ngasih hadiah pada manusia eh, malah disia-siakan!"

“Hai, Nona! Sepertinya kau masih mabuk! Bukankah tadi malam kita minum sama-sama? Makanya omonganmu ngelantur.”

"Hai, Bujang! Bagaimana kalau kau mati besok sedang hari ini kau masih berteman dekat denganku?"

Aku tersentak. Terkenang seluruh hadiah yang sudah kuterima sepanjang hidupku, yang kuminta dan tak kuminta.

"La ... lalu, apa yang harus kulakukan?" terbersit sesal mengapa justru aku bertanya pada Nona bertanduk ini.

"Aku tak tahu. Yang jelas hari ini aku ada jadwal minum lagi. Kalau kau mau ikut, silakan. Dengan senang hati. Kalau tidak, rasanya aku tak perlu menggodamu lagi, toh kamu sudah dewasa!"

"Ayo shubuhan, Le ... " ada yang menepuk bahuku lagi, tapi tiba-tiba kepalaku kembali berat dan seluruh tubuhku kaku.

"Waktumu telah tiba, Nak!" aku tak pernah mendengar suara ini sebelumnya, tapi kedengarannya seperti mencerabut seluruh tulang dari tubuhku.

You Might Also Like

4 komentar

  1. Huuuu baru mikir akan tobat ituuu, belum sampai tobaat...
    duuuh refleksi diri ini...


    lama gak mampir saya bang eksak ^,^
    senang tulisannya makin berbobot, tapi gak abot-abot nemen seh, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Ocha ... iya nih kemana aja dikau?

      Hapus
  2. makjleb jleb..umur manusia ga ada yang tahu ya

    BalasHapus