BPJS Kesehatan, Haram?

September 18, 2016


Assalaamu 'alaikum, sobat? Ketemu lagi ama gue yang udah mulai jarang-jarang apdet, males ngeblog, dsb. Langsung aja, deh! Udah pada tau, kan? Beberapa waktu lalu MUI memfatwakan ketidaksesuaian BPJS Kesehatan dengan syariah Islam. Meski belakangan fatwa tersebut "melunak" karna berbagai "tekanan" dari sana-sini. MUI sih gak bilang, "haram" cuma bilang, "gak sesuai syariah". Tapi "tekanan" itu tadi hakikatnya gak mengubah fakta keharaman BPJS ini. Kenapa haram?

Ternyata BPJS Kesehatan haram gak sekedar karena mengandung unsur riba, gharar (kegakjelasan/spekulasi), dan kezaliman sebagaimana difatwakan MUI. Ada beberapa faktor lain, yang di antaranya justru mendasar banget. Melihat kegaksesuaian BPJS dengan syariah cuma karna mengandung riba, gharar, dan kezaliman, menurut gue itu gak pas. Alasannya, bisa aja BPJS disyariahkan biar sesuai dengan syariah. Caranya? Diilangin aja ketiga unsur tersebut. Dengan begitu, seolah masalah BPJS ini cuma masalah riba, gharar, dan kezaliman. Padahal gak sesederhana itu.

Ada kartu BPJS-nya, Mas?
"Ada, Mbak cuma gak pernah iuran. Bisa bayar tunai, kok ...

 - #thugLife

Tapi sebelum gue arahin ke faktor mendasar yang gue sebut di atas tadi, ada baiknya gue jelasin dulu 3 unsur pengharaman akad yaitu riba, gharar, dan kezaliman. Salah satu aja dari ketiga unsur tersebut ada pada suatu akad, maka akad tersebut haram. Di BPJS Kesehatan ada ketiga-tiganya. Rinciannya sebagai berikut:

1. Riba ada pada denda yang dikenakan terhadap peserta (pemegang polis) yang terlambat membayar iuran.

Dalam pandangan pengelola BPJS Kesehatan, peserta yang terlambat membayar iuran udah berhutang dan terlambat melunasinya. Atas keterlambatannya, peserta dikenain denda. Berapa pun besarannya denda itu adalah riba.

Seperti kita ketahui, ada 3 kategori peserta BPJS Kesehatan. Pertama, PBI (Penerima Bantuan Iuran). Kategori ini murni gratis, disubsidi oleh pemerintah. PBI adalah warga negara Indonesia yang direkomendasiin sebagai warga yang gak mampu.

Kedua, non-PBI yang diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI, organisasi, lembaga dan perusahaan. Dana BPJS kategori ini sebagian besar (80-90 %) ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan sisanya (10-20 %) ditanggung oleh peserta. Untuk kategori ini, kecil kemungkinan terjadi keterlambatan pembayaran iuran. Sebab, pembayarannya menggunakan sistem auto debet atau potong gaji.

Ketiga, mandiri. Peserta kategori ini mesti membayar iuran rutin setiap bulannya. Jika terjadi keterlambatan membayar iuran maka terkena denda.

Dari ketiga jenis kategori di atas, yang kena aturan ribawi adalah peserta kriteria ketiga. Tapi kita perlu tau bahwa dari tiga kategori kepesertaan, dana yang terkumpul dikelola jadi satu. Dengan begitu, seluruh peserta seolah-olah dipaksa makan riba dari pengolahan dana BPJS Kesehatan ini.

Belum lagi, untuk pengelolaan dana terkumpul yang kalkulasi kasarnya ada sekitar Rp 6,912 triliun yang nantinya dikelola pemerintah, gak ada jaminan cuma dikelola dengan cara yang sesuai syariah. Dana sebesar itu kiranya akan diinvestasikan ke sektor-sektor konvensional dan berbasis riba, seperti deposito berjangka, surat hutang, obligasi korporasi, reksadana, properti, dan penyertaan langsung. Maka dana yang kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam hal pelayanan kesehatan ini otomatis terkontaminasi riba.

2. Gharar, karena asuransi BPJS Kesehatan ini gak berbasis syariah berarti basisnya adalah asuransi konvensional, pun udah jelas kandungan ribanya.

Oleh karna gak bisa dikategoriin sebagai asuransi syariah, gharar yang disebut oleh para ulama ada pada semua asuransi konvensional ada pula di BPJS Kesehatan. Gharar itu ada pada ketidakpastian dana yang didapet saat menderita sakit: berapa, kapan, dan apakah bakalan dapet atau malah gak dapet sama sekali. Bisa jadi besar, bisa jadi pula kecil. Bisa jadi setahun setelah menjadi anggota, bisa jadi pula 10 tahun kemudian. So, gaje alias gak jelas banget.


3. Kezaliman, berdasarkan penelusuran di kampung gue, gak semua warga miskin jadi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran). Besarnya dana yang harus ditanggung pemerintah jadi faktor utamanya. Padahal dalam beberapa tahun ke depan direncanain gak ada warga yang gak ikut. Maknanya, semua warga miskin pun musti ikut menjadi peserta BPJS Kesehatan dan dalam hal ini jadi peserta mandiri. Harus membayar iuran yang bagi warga miskin jumlahnya gak sedikit. Itu kan zalim banget!

Para PNS/POLRI/TNI dan karyawan di berbagai lembaga/perusahaan yang punya anak lebih dari tiga pun berpotensi jadi korban kezaliman ini. Sebab, anak yang iuran BPJS Kesehatannya dibiayai oleh pemerintah hanya anak pertama, kedua, dan ketiga. Untuk anak keempat dan seterusnya, iurannya secara otomatis bakal diambilin dari gaji orang tuanya. Otomatis yang berarti mau gak mau harus mau alias terpaksa.

Jangan pernah minta supaya dianggap orang yang gak mampu, kita mampu karna di sekitar kita masih banyak orang yang bener-bener gak mampu.

 - Bapak Gue

Dalam asuransi kesehatan syariah, para ulama mensyaratkan gak boleh ada unsur paksaan terhadap calon peserta. Pemaksaan ini adalah sebentuk kezaliman. Belum lagi orang-orang kaya bisa milih kelas kamar opname dengan biaya iuran yang lebih mahal. Saat si Kaya jatuh sakit, ia mendapatkan dana yang banyak yang sebagiannya adalah dana “milik” si Miskin yang “terpaksa” ikut menjadi peserta.

Nah, sekarang mengarah pada faktor mendasar apa yang ngeharamin BPJS. Apakah aja, eh apa ajakah?

Pertama: Jaminan sosial, khususnya dalam masalah kesehatan ini, adalah kewajiban negara, bukan kewajiban pribadi atau kelompok masyarakat. Karna ini merupakan kewajiban negara, maka kewajiban ini hukumnya wajib dilaksanain. Kewajiban ini gak boleh diabaikan, apalagi ditinggalin, trus dialihin kepada pribadi dan kelompok masyarakat. Dengan ninggalin kewajiban ini berarti negara udah ngekhianatin kewajibannya kepada rakyat. Udah berkhianat, negara malah ngezalimin rakyat, dengan ngelempar kewajiban tersebut kepada mereka. udah gitu, negara ngasih sanksi/denda kepada rakyat yang gak bisa menunaikan “kewajiban”-nya. Ini apa coba?

Kedua: Dalam konteks muamalah, BPJS sebagai badan hukum yang diperintahi UU buat ngehimpun dana masyarakat dan menyalurkannya buat ngelayanin kebutuhan dasar masyarakat jelas batil. Pasalnya, semestinyanya muamalah ini dilakuin oleh negara, bukan badan, baik dengan dana negara, pemasukan dari kekayaan milik umum, maupun pribadi.

Nabi saw. bersabda, "Al-Imam ra'in wahuwa mas'ulun 'an ra'iyyatihi. (Imam/kepala negara adalah pengurus. Hanya dia yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya)." (HR Muslim).

Karna itu, haram hukumnya tanggung jawab ini diambil-alih oleh yang lain, selain negara.

Ketiga: Dalam konteks akad-akadnya, bisa dibagi jadi tiga:
(1) Akad asuransi antara peserta BPJS dengan BPJS. Secara umum, akad asuransi ini batil karena obyek akadnya bukan barang atau jasa, melainkan janji. Selain itu akad ini juga nyalahin fakta akad dhaman menurut Islam.
(2) Pemanfaatan dana yang dihasilin dari akad yang haram hukumnya jelas haram.
(3) Denda yang ditetapin atas "premi" yang gagal dibayar pada waktunya. Denda seperti ini gak cuma zalim, tapi juga haram.

Kesehatan, pendidikan dan keamanan dinyatakan oleh Islam sebagai kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana sandang, papan dan pangan. Bedanya, kesehatan, pendidikan dan keamanan disebut sebagai kebutuhan dasar masyarakat, sedangkan sandang, papan dan pangan merupakan kebutuhan dasar individu. Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam kitabnya, Susuliyujia al-Iqtishad al-Islami, disebut kebutuhan dasar masyarakat, karna negaralah yang musti ngurus dan menuhin secara langsung. Adapun disebut kebutuhan dasar individu karna individulah yang harus memenuhinya sendiri, meski di sana juga ada peran negara.

Nabi saw. bersabda, "Man ashbaha amin[an] fi sirbihi, mu’afa fi badanihi, ‘indahu qutu yaumihi, fakannama lahu zuwiyat ad-dunya (Siapa saja yang pagi hari aman lagi tenteram hatinya, sehat badannya dan mempunyai makanan pokok hari itu, maka seolah dunia telah dihimpun untuk dirinya)." (HR Ibn Ishaq).

Di sini jelas sekali, Nabi saw. menyebut keamanan, kesehatan dan pangan sebagai kebutuhan dasar.

Mengenai layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan ini sebagai tanggung jawab negara karena Nabi saw. menetapkan tanggung jawab tersebut dengan "hashr" sebagai tanggung jawab negara.

Yups, kira-kira begitu, Sob penjelasan dari gue yang gue kutip dari berbagai sumber. Pasti ada pro kontra mengenai hal ini di antara kalian, bahkan di antara para ulama sekalipun. So, gak usah segan buat menggali lebih dalam dari berbagai sumber dan narasumber yang kalian percayai. Dalam hal ini lembaga agama kayak MUI bisa aja ngasih fatwa, tapi kita juga yang nentuin mau diarahin ke mana pedoman hidup kita. Apalagi pedoman kita kalo bukan Qur'an dan Hadits?

Happy Sunday, Guys & Keep On Fire!

Sumber: Hizbut Tahrir & An-Najah
Gambar: pribadi.

You Might Also Like

10 komentar

  1. Hm ...noted deh.
    Pro dan kontra akan selalu ada.
    Moga2 pelaksanaan BPJS ke depannya makin baik dan makin jauh dari unsur haram. Kalo bisa gak ada sama sekali ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, bener banget, bu ... Aamin buat harapannya .. :)

      Hapus
  2. Selama ini ikut BPJS memang karena kewajiban ya, nggak ada pilihan lain. Iya iurannya sangat memberatkan rakyat dengan penghasilan pas-pasan, ibaratnya buat makan aja susah eh harus bayar iuran segala.

    Semoga kedepannya akan semakin baik tanpa menyusahkan masyarakat kecil :)

    BalasHapus
  3. wow, om. is it you?
    subhanallah... hihih

    BalasHapus
  4. Owww... owww... owww... apa sdh resmi diharamkan oleh MUI?

    BalasHapus
    Balasan
    1. apakah kata-kata haram jelas di negara ini? Kecuali lambat laun melunak dan menjadi haram dikit ...

      Hapus
  5. kalau memang haram, harusnya bpjs dihapus...

    BalasHapus