Rematch

Februari 15, 2019



Segalanya busuk dalam cinta dan politik. Manipulasi informasi, debat penuh caci-maki, pamer misi dan kontes visi. Massa dari kedua calon pemimpin kita ini agaknya lebih rajin mencoreng muka lawannya ketimbang merias wajahnya sendiri. Di akhir lomba, gue yakin, keduanya akan muncul dengan garis muka yang sama. Kusut, berantakan, messy; like a clown in the end of parade.

Rematch. Peta perpolitikan Indonesia tampaknya cuma punya dua figur; Jokowi versus Prabowo. Ini perhitungan popularitas saja. Sederhananya; Prabowo masih berada dalam posisi pesaing paling potensial bagi Jokowi. Pun, hanya Jokowi seorang yang bisa menandingi tekad pantang menyerah Prabowo sejak dari first match. Semua calon-calon lain tak memiliki massa maupun gaung politik yang cukup untuk melampaui mereka berdua. Bandwagon-nya sudah jelas; tinggal para badut-badut politik itu memilih mau jadi parasit untuk siapa.

"Kita seringkali tak ingat apa yang kita miliki, tetapi lebih sering mengingat apa yang orang lain peroleh," mengutip sepenggal dialog pimpinan Kurawa menggambarkan tragedi yang harus ditanggung Pandawa. Rematch memang selalu mampu meramaikan panggung. Semua merasa sok tahu hasil akhirnya karena sudah pernah menyaksikan first match. Mulai dari akademisi, twitseleb, hingga tukang ojek online di warung burjo samping tempat kerja gue mendadak jadi pengamat politik yang garang, begitu awas menelisik gerak-gerik kedua calon dan menelusuri pemberitaan tentang mereka.

Howard Zinn benar saat ia berujar, “You can’t be neutral on a moving train.” Di saat-saat pergolakan seperti ini, diam dan menjadi netral seraya bergumam, “Apapun yang terjadi, gak akan ada perubahan!” tak lagi menjadi opsi yang masuk akal, setidaknya bagi gue. Indonesia terasa seperti kereta yang tengah bergerak. Maka, siapa yang harus gue pilih sebagai masinis? Golput? Dulu iya, sekarang No way!

Cuma orang peak yang bilang Jokowi adalah sosok yang sempurna. Dari dulu, sebenarnya gue jauh lebih "angkat topi" pada Ahok ketimbang beliau. Namun, gue lebih suka dengan cara beliau memosisikan dirinya (sebagai pemimpin) dalam masyarakat. Akan tetapi, gue melihat semakin banyak bukti bahwa pemerintahan Jokowi mengambil tindakan yang cenderung otoriter, walaupun pendekatannya dapat digambarkan sebagai “memerangi illiberalisme dengan illiberalisme.” Penindasan terhadap gerakan #2019GantiPresiden ,misalnya. Merupakan pertama kalinya sejak jatuhnya Soeharto, di mana pemerintah telah menggunakan aparat keamanan negara untuk penindasan skala besar yang terbuka terhadap gerakan oposisi demokratis.

Dan adalah orang bego yang bilang kalau Prabowo adalah angin segar yang membawa perubahan. Beliau orang lama dan memang benar-benar "orang lama". Logika yang digunakan adalah logika lama. Ide hierarki yang dibawa adalah pemikiran yang sudah begitu lama berakar dalam masyarakat kita sehari-hari. Cari pemimpin, lalu kita turuti. Menilik manifesto partai dan visi misi beliau, konklusi ini semakin kuat. Anggapan bahwa pengadilan HAM adalah sesuatu yang berlebihan, ajakan untuk mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidensial murni, retorik berbunga-bunga dalam visi misi tentang pemberdayaan anak muda yang intinya hanya berujar, "Anak muda nanti dulu, kita persiapkan saja." Tamparan akhirnya? Saat manifesto partai beliau secara eksplisit bertanya, "Indonesia harus memilih, kesejahteraan atau kebebasan?"

Happy choosing! Dan bagaimanapun score akhirnya, ingat selalu: “Whoever they vote for: We are and will always be stronger than them!”

You Might Also Like

0 komentar