Lebaran Tahun Ini
Format: 2 kolom. Cara baca: Zigzag. Jumlah: 666 kata.
Lebaran sudah jauh terlewat saat aku mengetikkan cerita ini. Akan tetapi masih di bulan Syawal, kata orang masih dalam suasana lebaran. Katanya jangan terburu berbuat salah, baru juga maaf-maafan. Kalaupun terlanjur, ya langsung minta maaf mumpung masih suasana lebaran. Seolah – olah meminta maaf adalah budaya yang hanya diselenggarakan setahun sekali. Namun lebaran tahun ini, - kurasa kalian semua juga mengalami – jauh berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya. Lengang, senyap dan terlalu istimewa. Keadaan yang memaksa murid - murid sekolah dasar untuk menuturkan cerita libur lebaran yang berbeda. Berbeda tetapi sama. Semua akan bercerita bahwa liburan kali ini, mereka di rumah saja. Jadi apa bedanya murid – murid itu dengan semua orang? Dengan seorang ayah yang berkewajiban menafkahi keenam orang anaknya? Dengan seorang janda tua yang akan mendaftarkan anak bungsunya ke sekolah menengah pertama? Dengan seorang buruh harian lepas yang menanggung angsuran motornya? Semua orang di rumah saja. Tidak beranjangsana, tidak menerima kedatangan tetangga, hanya menerima keadaan.
“Mas, ayo ikut bapak nyabutin rumput di sawah.” Aku berpaling dari laptopku. Beruntung mertuaku masih punya sepetak sawah. Sementara dari situlah kami memenuhi kebutuhan sehari – hari. Kami menanam sayuran yang tak terlalu lama panennya. Sebelumnya, aku hanya seorang tukang fotokopi. Pandemi ini memberikan dampak pengurangan karyawan, aku salah satunya. Pemerintah melarang mudik, walaupun masih banyak juga yang melanggar. Pembatasan sosial masih diberlakukan, jadilah aku di rumah mertua saja. Membantu di sawah atau coba mengirimkan cerpenku ke beberapa media. Di balik itu, tetap menjadi kekhawatiran bahwa aku akan dicap sebagai suami yang tak bertanggungjawab. Sampai istriku harus jadi pengupas bawang merah di rumah tetangga. Keresahan itu selalu menghantuiku, meski aku yakin bapak mertua juga memaklumi keadaan akhir - akhir ini. Bukan hanya keyakinanku belaka, itu juga diucapkannya sendiri.
“Yah, mau bagaimana lagi? Bukan cuma satu dua orang yang mengalaminya, tapi semua orang di seluruh dunia.” Kata bapak mertua saat menyaksikan berita di televisi bersamaku. Beliau seperti mampu membaca sesuatu yang berkecamuk di kepalaku. Namun tentu saja itu tak mengobati apapun. Aku adalah seorang suami, sebentar lagi seorang ayah. Aku yang seharusnya bertanggungjawab atas keluargaku, bukan mertuaku atau tetanggaku.
“Mas, ayo ikut bapak nyabutin rumput di sawah.” Aku berpaling dari laptopku. Beruntung mertuaku masih punya sepetak sawah. Sementara dari situlah kami memenuhi kebutuhan sehari – hari. Kami menanam sayuran yang tak terlalu lama panennya. Sebelumnya, aku hanya seorang tukang fotokopi. Pandemi ini memberikan dampak pengurangan karyawan, aku salah satunya. Pemerintah melarang mudik, walaupun masih banyak juga yang melanggar. Pembatasan sosial masih diberlakukan, jadilah aku di rumah mertua saja. Membantu di sawah atau coba mengirimkan cerpenku ke beberapa media. Di balik itu, tetap menjadi kekhawatiran bahwa aku akan dicap sebagai suami yang tak bertanggungjawab. Sampai istriku harus jadi pengupas bawang merah di rumah tetangga. Keresahan itu selalu menghantuiku, meski aku yakin bapak mertua juga memaklumi keadaan akhir - akhir ini. Bukan hanya keyakinanku belaka, itu juga diucapkannya sendiri.
“Yah, mau bagaimana lagi? Bukan cuma satu dua orang yang mengalaminya, tapi semua orang di seluruh dunia.” Kata bapak mertua saat menyaksikan berita di televisi bersamaku. Beliau seperti mampu membaca sesuatu yang berkecamuk di kepalaku. Namun tentu saja itu tak mengobati apapun. Aku adalah seorang suami, sebentar lagi seorang ayah. Aku yang seharusnya bertanggungjawab atas keluargaku, bukan mertuaku atau tetanggaku.
“Istirahat dulu, Mas ... kalau capek.” Kata bapak mertua ketika mendapatiku termenung sembari menggenggam rumput yang belum sempat tercabut. Aku hanya mengangguk. Sekali lagi mertuaku seakan membaca pikiranku. Sebercanda inikah takdir? Seperti menemukan keluarga baruku, itu juga setelah takdir membercandaiku begitu lama. Aku dan istriku terpaut usia dua belas tahun. Tadinya ia adalah seorang mahasiswi yang menjadi langganan fotokopi di tempatku bekerja. Saat itu aku mengerti. Aku hanyalah bujang yang telat kawin. Menggaet perawan kencur apalagi seorang mahasiswi bagaikan laron merindukan lilin. Salah – salah sayapku hanya akan keriput terpilin. Namun ternyata takdir berkata lain. Bercandaan paling serius adalah akhirnya kami menikah. Kata orang, menikah adalah salah satu pintu berkah. Sejenak aku berdamai dengan takdir yang terlalu banyak bercanda ini. Tetapi saat aku diberhentikan dari tempat kerjaku, aku serius ingin mengajaknya berkelahi. Mertuaku yang bijaksana mengetahui hal itu dan coba melerai kami. Menenangkanku dengan petuah bahtera pernikahan, ombak permasalahan dan gelombang cobaan. Uniknya, beliau tak pernah memberi solusi karena yakin aku bisa menemukannya sendiri. Wajah itu sedikit terpejam, merasakan lembut terpaan angin musim panas di tengah sawah. Aku jadi teringat bapakku sendiri di kampung halaman. Petuah yang sama sering dilontarkan di tengah perjuangan Beliau membesarkan keenam anaknya. Sebegitu beruntungnya aku mempunyai bapak – bapak ini. Lelaki – lelaki tegar yang telah mampu melewati begitu banyak badai. Nahkoda – nahkoda tangguh yang mampu membawa keluarganya selamat sampai ke dermaga akhir. Paling tidak ada keseriusan yang telah terbukti dari petuah – petuah mereka. Tidak seperti takdir yang kian hari kian bercanda. Namun kata mereka, aku harus berteman baik dengan takdir.
“Masss ... istrimu melahirkan!” tiba – tiba terdengar teriakan emak mertua yang sedang berlarian di sepanjang pematang.
“Alhamdulillah ... “ Bapak mertua mengucap syukur.
Aku ikut mengucap syukur berkali – kali. Berharap ada berkah di balik candaan kali ini, paling tidak untuk si Jabang bayi. Akhirnya aku menyadari satu asumsi, bahwa seperti itulah teman yang baik. Kadang – kadang ia memang suka bercanda. Lebaran tahun ini, aku belum meminta maaf padanya.
“Masss ... istrimu melahirkan!” tiba – tiba terdengar teriakan emak mertua yang sedang berlarian di sepanjang pematang.
“Alhamdulillah ... “ Bapak mertua mengucap syukur.
Aku ikut mengucap syukur berkali – kali. Berharap ada berkah di balik candaan kali ini, paling tidak untuk si Jabang bayi. Akhirnya aku menyadari satu asumsi, bahwa seperti itulah teman yang baik. Kadang – kadang ia memang suka bercanda. Lebaran tahun ini, aku belum meminta maaf padanya.