Kakek Dan Koran Bekas
September 20, 2013MFF #26 |
Mungkin bagi banyak orang, dia hanya seorang tunawisma yang merusak pemandangan. Tapi bagi kami, dia telah kami anggap sebagai kakek kami sendiri. Entah dari mana, setiap sore kakek sudah berada di emperan toko yang sama. Tentu saja setelah toko tutup dan sudah pergi sebelum toko buka di pagi harinya. Bercelana hitam dan bertelanjang dada. Beberapa lembar koran bekas sebagai alas tidurnya
Sepulang mengamen, kami selalu mengunjungi kakek. Kebiasaan uniknya adalah tak akan tidur sebelum membaca habis seluruh korannya. Selalu saja ada sesuatu untuk diceritakan pada kami. Tentang pejabat korup yang penjaranya penuh fasilitas, tentang artis yang ditangkap karena narkoba atau tentang jadual acara televisi yang entah kapan bisa kami tonton.
Kadang-kadang kakek juga bercerita tentang para nabi dan kisah-kisah orang jaman dulu. Kami sangat senang mendengarkannya. Tapi, ada hal yang sampai sekarang kami kagum, bahwa kakek tahu sesuatu dari kami padahal kami tak pernah memberitahunya. Kakek tahu nama kami, tapi kami tak pernah tahu nama kakek.
"Teguh!" panggil kakek padaku di malam itu.
"Iya, Kek." Jawabku.
"Hari ini kamu dapat tiga puluh ribu lima ratus, kan?"
Itu benar sekali!
"Kamu tabung uangmu itu! Jangan suka beli lem lagi, karena itu bisa merusak jaringan otakmu."
DEG! Bagaimana kakek tahu pendapatanku dan kebiasaanku ngelem?
"Karim!"
Temanku yang dipanggil Karim hanya mengangguk.
"Kalau setiap hari kamu dapat dua puluh lima ribu, maka dalam seminggu kamu bisa beli ukulele baru. Itu kan maumu?"
Lagi-lagi Karim mengangguk.
"Tapi kamu tak akan pernah punya uang kalau kamu masih suka taruhan dadu."
Kakek menghela nafas sambil mulai menggelar koran bekasnya. Kemudian ditatapnya Beni dengan tajam. Seketika wajah Beni merah padam.
"Beni ... jangan nyopet lagi, Nak. Apapun yang kamu makan dari hasil nyopet itu haram. Uang dua puluh ribumu hari ini itu yang halal."
Tak disangka kakek berbicara lembut sekali, tapi itu cukup membuat Beni hampir menangis. Kemudian kakek menatap kami satu persatu.
"Kalian semua masih muda. Jalan kalian panjang. Kalian masih punya keluarga, kan?
Kami mengangguk. Itu pertanyaan retoris, karena kami anggap kakek serba tahu.
"Kakek berharap kalian semua punya keinginan untuk pulang ke rumah, karena kakek juga akan pulang."
Kami sempat terkejut. Berarti kami akan kehilangan kakek, tapi bagaimanapun kami akan senang kalau kakek mendapatkan kehidupan yang layak di sisa umurnya.
Malam semakin larut. Kami pun berpamitan. Menuju tempat favorit untuk beristirahat. Kami selalu meninggalkan kakek sendirian. Dalam dingin malam, tidur tanpa baju dan beralaskan koran.
***
Pagi menjelang. Kami pun siap melanglang. Mengais rejeki kami di lampu merah dan warung-warung tenda di pinggir jalan. Seperti biasa, kami selalu melewati 'tempat tidur' kakek. Kami tahu pasti tempat itu sudah bersih dan kakek sudah pergi. Tapi pagi itu ada yang berbeda. Tempat kakek begitu ramai orang. Sebuah mobil mewah terparkir di samping kerumunan.
"Ayah, maafkan kami! Gara-gara kami Ayah tak mau tinggal di rumah."
"Ayah, ayo pulang! Saya berjanji tak akan korupsi lagi."
"Kakek, Susi bertobat! Susi tak akan pakai narkoba lagi."
Suara tangis terdengar dari dalam kerumunan. Kami pun menyeruak dan mendapati kakek terbaring dengan senyum di atas korannya.
"Ternyata kakek benar-benar pulang ... " bisikku pada teman-teman.
***
Jumlah: 499 kata.
38 komentar
Hmmm...
BalasHapusMhhh ...
Hapusini nyesek :( tapi bagus, suka gaya penceritaannya, dan rimanya
BalasHapusBikin sesek, ea? Makasih dah layat, eh dah mampir, Erlinda ... :-)
HapusMantab, semakin ngerti apa itu flashfiction dengan berkunjung kepeserta lain.
BalasHapusTampilan blognya aku suka!
HapusKita sama-sama belajar, Sobat! Makasih dah mampir ... :-)
Hapusꦆꦪ꧈ꦠꦩ꧀ꦧꦃꦲꦺꦧꦠ꧀ꦱꦗꦤꦶꦃ꧉꧉
Hapusopo iku mocone??? ;p
HapusSaya kerja di media koran juga. Cerita ini memberikan banyak inspirasi bagi kami. Terima Kasih sudah berbagi :))
BalasHapusmakasih dah berkunjung, Pak! Suatu kebanggaan cerita ini bisa jadi inspirasi buat orang lain ... :)
HapusLaki-laki yang amat memegang prinsip.
BalasHapusyups! Kalo Bunda adalah wanita yang memegang prinsip! :)
HapusKeren mas jepretan photonya :)
BalasHapusmakasih, Kawan! :)
HapusDuh nyaris keluar air mata saya membacanya padahal fiksi. Bagus bro ... keren, dalam pesannya ....
BalasHapusmaksih, Bu! cup .. cup ... ;(
Hapussi kakek meninggal ya :(
BalasHapusiya ... ;(
Hapusaiih.... selamat jalan, kakek...
BalasHapus*sambil nyari2 tisuuu...*
Tisune wis entek yu :D
Hapusben ditukokke karo mas Budi! hehe..
HapusAssalamualaikum... sebelum baca ingin menyapa dulu bang Andi apakabar...? lama nggak mampir kesini, maaf yaa, hehe... :)
BalasHapusWa 'alaikum salaam, Dee ... kabar gue baek! elu gimana?? ^_^
HapusCeritanya keren mas... salam kenal :)
BalasHapusmakasih, Mbak! Salam kenal jugaaa ... :)
HapusSayang banget kakeknya sudah berpulang Kang, padahal aku mau tanya kira2 jodohku orang mana ya hahahha....
BalasHapuslha wet biyen mangsane isih sregep ngeblog kan wes ngetoro to sopo sing mbok arahi! Ning yo jodoh orane yo mbuh! bhahaha
HapusKok kakaek bisa serba tahu ya tentang anak-anak itu?... Ceritanya bagus : memberi hikmah bagi yang membaca.
BalasHapuskakek punya ilmu penerawangan! hehe, makasih, Mbak Haya ... ^_^
HapusHIks :(
BalasHapusNice :)
Hiks ;-(
Hapusthanks! :-)
mas,
BalasHapuscrtanya selalu deh buat merinding,
ada aja idenya
uhhh ngiri banget.
keep writing
:)
Merinding? Emangnya disko? Bhahaha.. Ayo dong nulis lagi! C'mon, V!
HapusSumpah...asyik mas ceritanya....
BalasHapuspunya tisu...ndak :)
Asyik kenapa pake tisu segala? Bhahaha :-D
Hapusudah nebak kakeknya mesti meninggal. dan bener! tapi endingnya ga enak banget, saya terganggu sama dialog anak2nya. padahal ini ceritanya bagus. :) malah tadinya saya pikir si kakek ini semacam punya sustu ilmu gitu makanya bisa serba tahu. :D
BalasHapusMaaf, Mbak atas ketergangguan ini. Lain kali kami akan lebih meningkatkan pelayanan ... *zebb!
HapusMakasih atas sarannya. :-)