2612
Desember 26, 2013
“Tidak adakah waktu
libur buatmu, Cut?”
Gadis itu baru saja selesai mengikatkan tali sepatunya. Kemudian
beranjak menghampiriku. Dipeluknya diriku tanpa berkata-kata. Pundakku basah. Aku
melepas pelukannya. Mata memerah itu menatapku lekat.
“Cut tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Mama,”
“Tenanglah, Cut! Mama akan baik-baik saja,”
“Badan Meteorologi Dunia menemukan retakan dasar laut sepanjang seribu kilometer di Lampuuk Subduction Zone,”
Tak usah menerka seperti apa ekspresiku saat mendengar berita
itu. Sejarah telah mengantarkanku bertahan sejauh ini. Mungkin aku tak akan
pernah berkesempatan membesarkan Cut kalau tsunami di tanah ini tak pernah terjadi.
Gadis itu memang bukan anak kandungku. Aku menemukan bayi Cut di Lhok Nga saat
aku berusaha mencari jasad suami dan anak-anakku. Tapi aku sangat menyayangi
Cut. Dan aku tak ingin kehilangan orang yang kusayang untuk kedua kalinya.
“Ma … “
Sepertinya Cut membaca kekhawatiranku. Aku kembali
menariknya dalam pelukanku. Sekarang aku yang membasahi pundaknya.
“Retakan sepanjang itu berpotensi gempa berskala … “
“Berangkatlah, Cut! Doa Mama menyertaimu,”
Aku memotong penjelasannya sembari melepaskan pelukan. Dia
mengulurkan tangannya ke wajahku. Mengusap airmata di pipiku. Kuraih telapak
tangan Cut dan menggenggamnya erat.
“Biarlah airmata ini mengiringi tugas muliamu demi
keselamatan manusia ,”
***
Air bah telah surut sejam yang lalu. Cepat, kan? Itu karena
kerja keras dari Cut dan timnya. Oh, ya ... aku belum cerita kalau anakku Cut adalah
seorang pengendali air dan tanah. Kemampuanya telah terlihat saat dulu aku menemukannya. Bayi
Cut terhanyut di tengah aliran air bah
tanpa sepercik airpun yang membuat tubuhnya basah. Memang awalnya aku tak
percaya. Apakah dia bayi manusia? Tapi itulah kenyataanya. Sepertinya Tuhan
sengaja mengirimkannya untuk menjaga tanah ini.
Hingga pada usia 17 tahun, Badan Meteorologi Dunia merekrutnya
sebagai peneliti dalam hal penanggulangan gempa dan tsunami. Kode namanya adalah 2612, mungkin berhubungan dengan peristiwa dua puluh enam Desember. Aku menyayangi Cut
seperti anakku sendiri. Makanya aku tak pernah punya niat untuk bersuami lagi,
walaupun Cut seringkali mendesakku akan hal itu. Mungkin dia merindukan sesosok Ayah, tapi aku tak
ingin berbagi sayang dengan selain Cut. Dan aku tahu bahwa dia juga sangat
menyayangiku.
“Cut … “
Itu kata terakhirku saat tubuh basahku memucat dalam pangkuan Cut.
Sekejap kudengar lantang teriakan Cut memanggilku. Kemudian hilang.
***
Jumlah: 345 kata | Prompt #34 MFF
24 komentar
Mama Eksak cucok dong kalau bersuami heheehe kawinnya ke Belanda aja sana
BalasHapusheishhh, gue bukan mama! tapi Bunda! bahahaha
HapusHahah cucok!
HapusBhahaha
HapusFF,....berkesan sak ^_^
BalasHapusmakasih, Cii ... >_<
Hapusbingung nih, gk bisa menilai apa yang saya dapat dari ceritanya :D
BalasHapusJangan bingung, Kang! entar gue jadi ikut2an bingung, lho ...XD
Hapusendingnya si ibu ini mati? lalu hubungannya dengan Cut berangkat melaksanakan tugas, apa?
BalasHapusibunya mati karna Cut telat ngasih pertolongan, karna Cut sedang bertugas. :)
Hapushm...
BalasHapusmh...
Hapushu-hu heheh.......?
BalasHapusbhahaha....
Hapusyang lain selamat tapi ibunya nggak?
BalasHapus:(
yups! ^_^
Hapusjadi ibunya ini juga ada di daerah bencana? di tempat cut menjalankan tugasnya?
BalasHapusho'oh ... >_<
Hapusidenya keren, Kak :")
BalasHapusMakasih, Chil! >_<
Hapusaku bingung.... jika sejak awal sudah diketahui bahwa retakan itu berpotensi gempa besar, kenapa si ibu nggak mengungsi? lalu, saat si ibu melepas Cut, yang terbayang adalah Cut pergi ke daerah yang jauh dan bukannya di tempat si ibu.
BalasHapusKediaman ibunya Cut emang ada di sekitaran kota yang deket ama retakan, yah mungkin emg gak begitu kebaca di atas. Thanks, Rig! ;-)
HapusSedih :(
BalasHapusHiks ... ;-(
Hapus