Lelaki Tua di Tengah Gerimis
Oktober 10, 2014Aku sedang mengawasi pekerja di toko gerabahku saat seorang lelaki tua dengan sepeda kumbangnya melintas. Gerimis mulai deras, tapi lelaki tua itu tak tampak kehabisan napas. Seikat besar jerami di boncengan sepedanya mulai kuyup, tapi semangatnya masih belum redup.
Aku memanggilnya Lik Jarwo. Ia adalah salah satu dari pencari jerami yang bekerja di peternakan sapiku.
"Ngiyup dulu, Lik! Ini ada teh anget," sapaku.
"Nggih, Mas. Masukin ini dulu, mumpung belum deras hujannya!" jawab Lik Jarwo sambil menuntun sepedanya.
Memang biasanya sapi tak mau makan kalau jeraminya terlalu basah. Lik Jarwo paham benar akan hal itu. Ia juga termasuk pekerja yang rajin. Walau kadang aku merasa kasihan, setua itu ia masih harus menjadi pencari jerami. Kalau melihatnya, aku kembali teringat masa laluku. Siapalah diriku ketika itu? Tak beda dengan nasib Lik Jarwo saat ini. Dulu aku juga seorang pencari jerami untuk makanan sapi. Seorang pemuda miskin yang kerap dipandang sebelah mata. Bahkan hal itu juga yang membuatku dipecat oleh Juragan Santoso, ketika kedapatan aku berpacaran dengan anak gadisnya.
Kemudian sejak saat itu, aku berjanji bahwa nasibku harus berubah. Dan hasilnya seperti sekarang ini. Aku adalah juragan atas ratusan sapi dan puluhan pekerja di peternakanku sendiri.
"Mas, saya pulang dulu!" pamit Lik Jarwo membuyarkan lamunan masa laluku.
"Eh! Nanti dulu, Lik! Mampirlah ke rumah, sekalian ngambil bayarannya sampeyan minggu ini."
"Nggih, Mas ... "
Bergegas aku menuju ke rumah di sebelah toko gerabahku. Aku langsung menuju ke dapur, membuat segelas kopi untuk Lik Jarwo.
"Ayo diminum dulu kopinya, Lik! Sengaja saya membuatnya sendiri untuk sampeyan."
"Wah! Kok jadi repot-repot to, Mas?"
"Sekali-kali ya ndak papa to, Lik. O ya, ini bayarannya sampeyan."
"Suwun, Mas! Kalo gitu saya pamit dulu."
"Lha kok ndak diminum kopinya? Udah dibuatin lho, Lik ... "
"Eh, iya hampir lupa. Sekali lagi suwun lho, Mas udah ngerepotin."
Segelas kopi panas akhirnya tandas. Lik Jarwo pun berpamitan. Aku mengantarnya sampai ke pintu depan. Di luar, anak-anak hujan masih berkejaran. Aku memandangi punggung lelaki tua yang tabah membelah gerimis dengan sepeda kumbangnya.
"Malam ini tumbal untukmu telah siap, Ndoro!" sembahku pada sesosok samar yang sejak tadi berada di sampingku.
***
Jumlah: 350 kata | prompt #65 MFF
*ngiyup : berteduh | nggih : iya | sampeyan : kamu | suwun : terima kasih | ndoro : tuan, majikan.
14 komentar
serem endingnya Mas.
BalasHapussi aku kaya karena pesugihan huhuhu
Ajen Angelina
bener, Mbak! pe-su-gi-han ... ;)
HapusWaaa....jgn pernah kembali ke situ, Liiikk....!!! Semoga kau mendengar teriakanku....
BalasHapussudah terlambat! bhahaha *ketawaiblis
Hapusternyata..... mau nyari tumbal
BalasHapusmau jadi tumbal juga?
Hapuswoh! orang tua dijadiin tumbal. ntar masuk neraka lho.
BalasHapuswat2
kalo orang muda kayak kamu yg dijadiin tumbal gimana? hehehe
Hapusseremmm... >_<
BalasHapushiiiii .... >_<
Hapusjadi... kopi itu untuk tanda tumbal? tumbalnya diapakan ya?
BalasHapusdibikin kopi juga! hehehe
HapusWuuaaa,... kabuuurrr likkk
BalasHapuseits! mo kemanaaa .... /(
Hapus