Pondok Cinta
Februari 22, 2015
Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak
dikenal menghubungiku. Katanya dari salah satu stasiun televisi
nasional. Sebuah tawaran yang menggiurkan. Aku diminta untuk mengisi
sebuah program siraman rohani, lengkap dengan rincian episode dan
harga kontraknya. Tentunya itu adalah sebuah kesempatan yang harus
dipertimbangkan. Sebuah awal agar aku lebih dikenal oleh masyarakat
luas. Apalagi dengan nominal harga kontrak yang cukup menggoda,
bukankah nantinya hasil itu bisa kupakai untuk meneruskan pembangunan
komplek asrama putra yang terbengkalai? Tapi yang terpenting tetap
pada niatan dakwah, menyampaikan ilmu pengetauan agama kepada umat.
Waktu terus merayap. Beduk magrib telah ditabuh.
Tampak olehku para santri berbondong-bondong menuju masjid. Aku
sendiri mengambil air wudu. Sejenak kemudian terdengar kor “Aaamiiin”
dari masjid yang diimami Romo Kiai. Tak lama berselang, koor dengan
lirik yang sama pun terdengar dari pondok putri, dekat sekali di
telingaku. Mengalun syahdu jauh menembus relung kalbuku.
Usai magrib, tinggal menunggu Isya. Malam ini aku tak ada jam mengajar. Aku berkeliling di sekitar pondok. Kucermati semua kegiatan di tempat ini. Aku berdecak kagum, semarak lafal-lafal Ilahi bersahutan sebagai zikir. Masih belum terkontaminasi senyawa zaman yang kata Ronggo Warsito semakin edan ini. Tetap berpegang teguh menelaah UUD yang tak lapuk oleh waktu, yang tak bosan diulang-ulang dan yang tak pernah diusik amandemen itu.
Di sisi lain serambi masjid, seorang ustaz
dikelilingi oleh para santri, hanyut dalam lembaran barokah kitab
kuning. Berbagai syarh dan ta'liq mengalir dari bibirnya, didengarkan
dengan seksama oleh santri-santri itu. Tak hanya itu yang tertangkap
telingaku. Paduan suara kompak tanpa tanpa instrumen mendendangkan
Rotibul Haddad membahana dari arah pondok putri. Lebih merdu daripada
lagu-lagu cinta yang saat ini sedang marak di kalangan anak muda.
Jiwaku melayang, bersyukur kepada Ilahi Robbi. Ternyata masih
ada komunitas yang masih mau menggenggam bara di tengah gemerlapnya
dunia yang makin kacau ini. Aku tersenyum. Malamku mulai gelap,
pancaran warna merah merona akhirnya menghitam. Sebentar lagi
isya berkumandang.
Sengaja kuberjalan mengelilingi lingkungan santri ini. Barangkali jika aku menerima tawaran program televisi itu, kemudian aku diharuskan boyong ke ibukota. Maka aku akan merindukan sekali tempat ini. Tempat di mana untaian Asma'ul Husna dan sholawat kepada Nabi selalu menghiasi langitnya. Tempat di mana Nyai Ibu melahirkanku, kemudian dibesarkan dan diajar oleh Romo Kiai sendiri. Dalam mengajar, Romo tak pernah pandang bulu. Tak pernah membeda-bedakan mana santri mana anak sendiri. Semua sama, digodok dan digembleng sedemikian rupa. Tak lain demi menjadikan kami manusia yang berguna bagi agama dan negara. Aku semakin beranjak dewasa, sedangkan Romo Kiai berenang dalam samudera usia. Akhirnya aku pun dipercaya untuk mengampu beberapa mata pelajaran bersama para ustaz dan beberapa santri senior lainnya.
Selepas isya, aku berkeliling lagi. Lamat kudengar
tetabuhan riang berirama rancak dari salah satu kelas. Gegas kudekati
sumber suara. Aku terpesona, ingin rasanya ikut berjingkrak ria.
Tabuhan dampar dan instrumental itu bukanlah gendang koplo dangdut
pantura, tapi bait-bait Alfiyah yang di-nadhom-kan oleh para santri. Di
sudut lain, nadhoman 'Amrithy mengimbangi. Tak mau kalah, 'Aqidatul
'Awwam dan Shorof Jombang pun melengkapi. Semakin kurasakan, semakin
aku tak ingin meninggalkan tempat ini. Tempatku mereguk segarnya ilmu
agama, menghilangkan dahaga dari kemarau budaya hedonis yang semakin
merajalela.
Malamku makin pekat. Jarum pendek jam sudah melewati angka sepuluh. Semua aktivitas belajar mengajar di pondok telah usai, saatnya para santri beristirahat dengan damai. Bermacam kesibukan jeda ta'lim mewarnai pondok ini. Ada yang melanjutkannya dengan muthola'ah, karena belum puas dengan pelajaran yang diterima hari ini. Ada juga yang langsung mengganti baju taqwanya dengan kaos, sarungnya dengan celana training, selimut sebagai pengganti serban, juga mengganti kitab dengan bantal atau pena dengan guling. Ada juga yang berhalaqoh di teras kamar, mengobrol ngalor-ngidul sambil ditingkahi hembusan asap dari bibir legam mereka.
“Assalaamu 'alaikum, Gus … “ tiba-tiba seorang
santri menyalamiku.
“Wa 'alaikum salaam wa rohmatullah,” jawabku.
“Belum sare, Gus?”
“Belum. Lha, sampeyan kenapa jam segini masih
kelayapan?”
“Dapet jatah murobathoh, Gus.”
“Oo … “
Murobathoh atau jaga malam memang digilirkan kepada
para santri. Setiap malam, empat sampai lima orang santri mendapatkan
tugas jaga pondok. Berkeliling di sekitar pondok, memastikan keamanan
pondok. Juga mengawasi para santri dan menangkapnya kalau nekat
keluar malam-malam, biasanya yang suka ngopi dan nonton televisi di
warung ujung kampung. Kepada santri nekat ini, mereka harus
dilaporkan ke pengurus untuk kemudian diberi hukuman di keesokan
harinya. Hukumannya bisa dijemur di halaman seharian, menguras bak
mandi atau membersihkan kakus.
“Kok sendirian, yang lain mana?”
“Ada yang lagi masak, ada yang jaga di gerbang,
Gus.”
Seorang santri berlarian dari arah dapur kemudian
menghampiriku. Tak lupa ia menyalamiku juga.
“Nasi sampun mateng. Mari nderek dhahar, Gus.”
“Ya, udah kalian duluan! Temenmu yang lain diajak
makan juga. ”
“Assalaamu 'alaikum … “
“Wa 'alaikum salaam wa rohmatullah.”
Mereka pun undur diri dari tempatku berdiri. Aku
kembali berjalan mengitari pondok. Kali ini aku menghadap bangunan
yang rencananya akan dijadikan tambahan asrama putra di sebelah
selatan masjid. Untuk sementara pengerjaan proyek ini diliburkan,
karena setiap kali biaya anggarannya harus dipakai dulu operasional
pondok yang lain. Pikiranku adalah, kalau aku menerima tawaran
program televisi itu mungkin penghasilanku bisa sedikit membantu.
Tapi kalau mengingat kesehatan Romo Kiai yang semakin hari semakin
memburuk, aku jadi tak punya nyali untuk meninggalkannya. Apalagi aku
adalah satu-satunya penerus kelangsungan pondok ini. Aku pun bertolak
dari area proyek itu, melanjutkan perjalanan cintaku pada tempat ini.
Akhirnya sampailah aku di teras ndalem. Dari sini
terlihat jelas balkon lebar yang menghadap ke timur. Di sana ada tiga
santri putri. Dua santri tengah asyik berbincang sambil sesekali
tangan menutupi mulut demi tawa yang meluncur. Sementara santri yang
satunya tampak termenung, entah ia berzikir karena di tangan kanannya
seuntai tasbih tak berhenti berputar. Entah juga kalau ia melamun,
mengingat kekasihnya yang jauh di kampung halaman. Bisa jadi sang
Kekasih yang ditinggalnya menuntut ilmu saat ini juga sedang
mengenangnya, memutar kaset yang berkisah tentang cinta di antara
keduanya. Atau barangkali juga ia sedang khusyuk dalam tafakkur,
menghitung bintang-bintang kecil yang tertutup awan musim penghujan.
Mungkin ia berharap hujan turun di malam ini, perlambang rintik rindu
yang didamba karena dalam hujan ada lagu rindu yang hanya bisa
didengar oleh sang Perindu.
Tiba-tiba pintu ndalem terbuka. Seorang gadis manis
berjilbab kelabu menepuk punggungku. Seorang santri yang tekun dan
gemilang hafalan 30 juz-nya. Sekarang ia menjadi istriku. Istri yang
taat dan pengobar semangat hidup yang kadangkala redup.
“Masih kepikiran tawaran itu, Kang?” tanyanya
lembut.
Aku hanya mengangguk. Kemudian kupandangi seraut
wajah bijaksana itu. Di situ biasanya aku mengharapkan jawaban dan
jalan keluar dari segala persoalan. Seolah tahu gelagatku, ia pun
mendekatiku, ambil tempat di sampingku berdiri. Bahu kami hampir
bersentuhan.
“Kakang sudah matur ke Romo Kiai?”
Kali ini aku menggeleng. Ia malah membalasnya dengan
seulas senyum di wajahnya. Tapi kuakui senyum itu yang selama ini
mampu mencairkan keresahanku.
“Romo Kiai pasti bisa maringi pertimbangan. Tentu
saja dengan mempertimbangkan nasib para santri sepeninggal Kakang.
Apalagi Romo sudah banyak sakitnya. Toh, di sini ilmu Kakang juga
bermanfaat sekaligus memenuhi amanat Romo sebagai penerus pondok.
Walaupun banyak ustaz dan santri senior yang bantu mengajar, tapi
mereka juga butuh pemimpin bukan? Kalaupun Indonesia membutuhkan
Kakang sebagai penyampai pesan, tapi ndak cuma sekadar jadi mubaligh
selebriti. Istikharoh, Kang … istikharoh. Insya Allah, Gusti paring
pituduh.”
Aku tahu ia coba menahanku karena ia tengah
mengandung anak kami yang pertama. Tapi dari caranya memberi solusi,
ada rasa adem di hati ini seperti siraman embun di sepertiga malam
yang mendung. Dan ini yang kusuka darinya. Alunan zikir tak hentinya
membumbung tinggi ke angkasa, membentuk tangga yang tiada putusnya.
Kurasakan kepakan sayap malaikat ramai terdengar di sepertiga malam
ini, seperti laron yang mengerubuti satu-satunya lampu di pelataran
pondok.
Pukul dua dini hari, malam makin basah. Waktu itu pu akhirnya tiba. Seruan sholah-sholah terlantang dari salah satu santri yang tadi berjaga, menggugah alam yang tertidur dalam kegelapan. Beberapa santri yang asyik bermimpi merasa terusik dan kemudian bangun untuk bertahajud. Mungkin kalau di kampung itu tak akan terjadi. Apalagi di malam musim penghujan yang dingin ini. Ditingkahi gerimis, alangkah hangatnya selimut-selimut itu. Tapi di pondok ini, mereka merasa akan merasa rugi kalau tak memenuhi undangan kencan dengan Sang Kreator Alam ini. Aku dan istriku pun masuk ndalem dan mengambil air wudu.
Pukul dua dini hari, malam makin basah. Waktu itu pu akhirnya tiba. Seruan sholah-sholah terlantang dari salah satu santri yang tadi berjaga, menggugah alam yang tertidur dalam kegelapan. Beberapa santri yang asyik bermimpi merasa terusik dan kemudian bangun untuk bertahajud. Mungkin kalau di kampung itu tak akan terjadi. Apalagi di malam musim penghujan yang dingin ini. Ditingkahi gerimis, alangkah hangatnya selimut-selimut itu. Tapi di pondok ini, mereka merasa akan merasa rugi kalau tak memenuhi undangan kencan dengan Sang Kreator Alam ini. Aku dan istriku pun masuk ndalem dan mengambil air wudu.
Sejenak kemudian, kor hasbunalloh wa ni'mal wakiil mengalun. Diawali dengan Sholawat Munjiyat untuk sang Kakek Guru. Berbagai hibz, mulai Nashr, Bahr, Zajr, Syaikh, Nawawiy, Ikhfa', dan Sakron turut menjadi instrumen konser ukhrowi ini. Tersusunlah semacam konfigurasi indah di atas kepala mereka. Seperti rangkaian bunga-bunga yang akan dihaturkan pada sang pujaan hati. Jutaan malaikat tak henti mengepak sayapnya, bersiap membawa rekaman aurad ini untuk diputar di hadirat Yang Maha Tak Tidur. Gerimis berubah menjadi hujan maghfiroh yang mengguyur mereka. Walaupun ada juga malaikat yang cemberut karena melihat beberapa santri yang mengantuk dalam mujahadahnya. Tetapi Allah telah memberi garansi,
”Hum al qoumu laa yasyqoo bihim jaalisuhum.”
Aku berbangga, inilah sepertiga akhir malamku yang sempat hilang oleh kegalauan duniawiku. Waktu di mana Dia turun seraya berkata:
“Siapa yang mohon ampun Kuampuni, siapa yang
meminta suatu hajat pasti Kukabulkan,” aku tergetar.
Pagi masih buta, mentari masih terlelap berselimut
kabut kepekatan diriku. Hawa dingin pun masih membekukan tulang
sumsum, membuatnya enggan menyingsingkan lengan ufuk timurnya. Dalam
hati aku bersenandung,
“malam panjanglah, kantuk hilanglah, subuh
berhentilah, jangan terbit dulu,” menirukan lagu religius para
Sufi.
Rupanya malam belum mau memihakku. Subuh pun memecah sunyi. Usai dua rakaat, aku pun rihat. Saat mentari menyapa, aktivitas ponpes ini akan mendenyutkan kembali nadinya. Menyongsong hari baru yang penuh barokah, disambut dengan iftitah Sholawat Nurul Anwar, diikuti wirid-wirid Robbani blangko kewalian serta diramaikan pagelaran Qoso'id dan Anasyid. Aku telah berpesan pada istriku agar membangunkanku jika nomor tak dikenal itu menghubungiku lagi. Kuyakinkan telah ada jawaban untuknya pagi ini.
*^-^*
Aku berdiri mengawasi proyek pembangunan asrama
putra yang hampir paripurna. Bakda subuh. Para santri telah turun
dari berjemaah di masjid. Bersiap-siap memulai kegiatan pagi yang
sebentar lagi akan dimulai.
“Syuting segera dimulai, Gus.”
Seorang santri mengingatkanku. Aku pun bergegas ke
lokasi syuting di serambi masjid. Di situ telah menunggu beberapa
kameramen dan pengarah gaya. Terima kasih sudah mau berkenan
mengunjungi pondok cinta kami selepas siraman embun fajar.
*^-^*
Jumlah: 1659 kata.
22 komentar
Adeemmm bacanya...
BalasHapusBikin rinduuuu jd santri lagi :)
Oh ya? Pernah nyantri di mana, Mbak?
HapusBaca ini jadi makin pengen masukin anak ke pondok pesantren. Semoga dia benar2 mau nantinya. aamiinn
BalasHapusaamiin ..
Hapussemoga ya, Bu. :)
Kenapa gak coba di buat buku mas :)
BalasHapushwehehe, belum ngumpul idenya ... :p
Hapuskalo di Pondokku dulu bukan Murobathoh, namanya BUROSH, hehe
BalasHapusemang namanya beda-beda, kok tergantung musyawaroh pondok. smoke
Hapusakhir syuting juga, jadi jalan dakwah
BalasHapustentram rasanya di pondok
tentram ... wind
Hapuspemondokan biasanya membentuk karakter ya mas....
BalasHapusapapun pendidikan diharapkan bisa membentuk karakter seseorang, Mas ... bukan cuma pondok. drunk
Hapusaku gak pernah sekolah di pondok, paling pak masih SD ngaji TPA/TPQ aja di masjid.
BalasHapussama aja pelajaran dasarnya, kok. pleased
Hapuskelihatannya di ponpes itu adem, ya. Tapi, sy belum tega :)
BalasHapuscuma si Anak ybs yg bisa ngerasain adem enggaknya, Ciii ... hmmm
HapusSuasana pondok yang bikin adem ayem apalagi jika mengalami sendiri
BalasHapusbener banget! happy
HapusAdemnya tinggal di pondok. Menentramkan hati.
BalasHapusJadi gimana gus, tawaran itu diterima atau ditolak?
diterima asal masih bisa syuting di lingkungan pondok. cheer
Hapuspondok cinta yang teduh dan banyak memberikan manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat bagi umat manusia...saya hanya berharap pondok cintanya akan tetap setia memberikan ilmu dan kemanfaat bagi kehidupan manusia selamanya. ok gan sukses selalu.
BalasHapusamiin ...
Hapusmaturnuwun pandungane, Mbah! Kesuksesan kami kesuksesan masyarakat Indonesia juga. dad