Cerpen | Menertawakan Sejarah
Oktober 20, 2013
Aku tak ingat pasti kapan pertama kali kami bertemu. Mungkin sebulan atau dua bulan yang lalu. Waktu terkadang sering memanjang dan
memendek tanpa memberi tahu. Mungkin benar teori Einstein puluhan abad silam tentang relativitas waktu. Saat itu aku sedang duduk menikmati
makan siangku di sebuah bangku. Bangku panjang di taman kota itu kini
menjadi saksi bisu.
Siang itu tak begitu menyengat.
Kupu-kupu beterbangan dengan penuh semangat. Sesekali mencumbui bunga
rumput yang rasa madunya sepat.
Dia datang begitu saja.
Seperti dimuntahkan oleh cahaya surya yang menyilaukan mata. Awalnya
aku terpana dengan makanan dalam sendok yang melayang di udara. Reaksi
paling wajar dari seorang wanita yang tiba-tiba dihampiri oleh pria yang
tak dikenal sebelumnya adalah, membangun tembok setinggi-tingginya,
dinding setebal-tebalnya dan benteng sekokoh-kokohnya. Aku tak pernah suka
berjumpa dengan orang baru seperti dia.
Mungkin dia
hanya coba menghiburku. Dengan hidung bulat merah, rambut palsu berwarna
coklat dan wajah bercat dominan biru. Tapi setelah lelah melucu sedang
aku tak tertawa, dia pun terpaku. Memiringkan kepala dan memandangiku
sayu. Aku pun menggeser posisi dudukku di bangku. Memberikan ruang
padanya untuk bertempat di sebelahku.
Mungkin dia
putus asa. Dan entah mengapa aku jadi iba padanya. Dalam beberapa saat,
kami hanya berdiam tanpa kata. Hingga dia menanggalkan rambut palsunya
dan mulai bercerita tanpa kuminta.
"Mungkin aku memang
tak pandai melucu. Tapi aku tak punya pekerjaan lain. Lagi pula apa yang
bisa dilakukan oleh seorang lulusan sarjana satu fisika seperti aku?
Saat ini dunia membutuhkan lulusan sarjana tiga," ujarnya sendu.
Aku
menatapnya. Kucoba mengulumkan senyum. Tiba-tiba mata sendunya
berbinar. Seperti baru saja menemukan sesuatu dalam senyumku. Dipakainya
kembali rambut palsu itu. Kemudian berjingkrak riang dan pergi
meninggalkanku. Kini aku yang terpaku. Melihat punggungnya menjauh
dengan momentum baru. Sedang namanya pun aku tak tahu.
***
Sudah 184
tahun Indonesia merdeka. Korupsi semakin merajalela dan mendarah daging
pada setiap warga negara. Jujur, aku mulai menyukainya. Saat ini pun aku
sedang melakukan tindakan korupsi. Lebih tepatnya mengorupsi
waktu. Sebelum jam kantor berakhir, aku telah berada di bangku taman
favoritku. Menikmati makan siang sambil menanti senja berlalu.
Semakin
sore semakin banyak orang yang mengunjungi taman ini. Tak heran, karena
taman ini adalah satu-satunya di kota ini dalam sepuluh tahun terakhir,
dengan satu pohon di tengah taman dan puluhan bangku panjang
mengelilinginya. Orang-orang tua biasanya bersama anak-anak mereka.
Berlama-lama memandangi pohon sambil memberi satu dua patah wejangan
yang pernah mereka langgar.
"Nak, inilah satu-satunya
pohon yang tumbuh di kota ini. Mungkin saat ini kau dapat melihatnya,
tapi entah dengan anak cucumu nanti. Maka, jagalah!", kata seorang bapak
pada anaknya.
Namun, masih saja. Masih saja ada
segerombolan remaja berseragam lanjutan tingkat atas yang tak tahu
sejarah. Tak tahu sejarah bumi hingga menjadi separah ini. Seorang dari
mereka tampak membuang bungkus makanannya dengan sembarangan. Sebelum
sampah itu jatuh ke tanah, sesosok yang kukenal menangkapnya, kemudian
mendekati mereka. Pria badut. Ya, dia adalah pria badut yang kukenal
tempo hari. Kenal? Namanya?
Di hadapan para remaja itu,
pria badut melakukan sebuah trik sulap dengan menghilangkan sampah
bungkus makanan yang tadi ditangkapnya. Zapp! Sampah dalam genggaman pun
lenyap. Tapi sepertinya gagal, karena seorang dari para remaja itu
mengetahui kalau sampah itu disembunyikan dalam baju si Pria badut.
Untuk menutupi kegagalannya, pria badut itu melakukan gerakan-gerakan
dan raut wajah melucu. Tapi sayang, tak satu pun dari mereka yang
tertawa. Pria badut pun putus asa dan berpaling meninggalkan mereka. Dia
berjalan menunduk. Sebentar mengangkat kepala dan pandangannya pun
menemukan keberadaanku.
Pria badut itu menghampiriku.
Kali ini dia mengambil selembar uang kuno bergambar proklamator
Indonesia dan melakukan sebuah trik di depanku. Zapp! Uang pun lenyap.
Seperti uang itu, bagiku pun trik semacam itu kuno. Tentu saja dia
menyembunyikan uang itu di dalam lengan baju panjangnya. Seketika
wajahnya murung dan duduk di sebelahku seperti biasanya.
"Generasi
sekarang pintar-pintar, cerdas-cerdas bahkan kecerdasan mereka mampu
menghapus hukum gravitasi dan memutarbalikkan proses metamorfosis. Tak
ada rahasia dan trik tersembunyi yang tak mereka ketahui. Tapi mereka
bodoh tentang bumi, mereka tolol tentang alam, mereka menyalahgunakan
ilmu untuk memporak-porandakan siklus kehidupan," ucapnya ketus.
Lagi-lagi
aku mencoba tersenyum. Kuharap satu senyum akan berarti untuknya sore
ini. Dan seperti Archimedes meneriakkan eurekanya, dia pun berjingkrak
kemudian beranjak ke tengah taman, tempat dimana pohon satu-satunya
tumbuh.
***
Siang ini aku korupsi lagi. Di bangku taman dan tentu saja dengan
menu makan siangku. Menu istimewa berupa paket nasi dan daging asap
serta beberapa helai sayuran kaleng anti kadaluarsa. Menu ini harganya
sangat mahal. Sehingga hanya para elit koruptor saja yang mampu membeli
menu semacam ini. Sedangkan mereka yang hidup jujur, cukup puas menelan
kapsul-kapsul ekstrak makanan setiap harinya. Harganya murah, lebih
murah daripada udara segar kalengan yang harganya setara dengan upah
minimum kota ini.
Taman mulai ramai. Para gelandangan
yang ingin bermalam pun sudah siap dengan gelarannya. Sengaja
kuperlambat suapanku. Pelan-pelan gigi gerahamku melumat makanan ini.
Barangkali si Pria badut itu muncul. Entah mengapa aku ingin berbagi
dengannya. Sekedar satu dua suap menu istimewa ini mungkin akan
mengembalikan cerianya setelah lelah melucu seharian.
Senja
merayap. Rona jingga membias di antara pupus daun dari pohon kebanggaan
kota. Nihil. Pria badut itu tak nampak bulat hidungnya. Mungkin dia
tengah meliburkan diri, atau sedang bereksperimen dengan kelucuannya
yang baru.
Aku pulang. Dengan rasa rindu pada si Badut berwajah biru. Ah, sejak kapan perasaan ini ada?
***
Perjalanan
pulangku mungkin adalah perjalanan paling menyedihkan dalam sejarah.
Jalanan kota dipenuhi sampah dan mayat bergelimpangan. Setiap hari ada
saja yang mati di jalan. Mati karena kelaparan, karena penyakit
pernapasan, tabrak lari dan sebagainya, adalah pemandangan yang
menghiasi kota dalam dasawarsa terakhir ini. Tak ada penanganan khusus
dari pemerintah, kecuali setiap hari Minggu, truk petugas tata kota akan
memunguti sampah dan mayat-mayat itu. Bau busuk menembus masker yang
kupakai, menyeruak masuk ke paru-paru.
***
Pagi.
Tak seperti biasanya aku berkisah tentang pagi hari. Suasana pagi yang
tak pernah sama seperti apa yang tertulis di buku sejarah. Mana
embunnya? Mana keindahannya? Hanya sisa-sisa hujan asam yang mengarat di
portal besi pembatas jalan. Kondisi ruas jalan hiruk-pikuk oleh para
pemaki hidup. Robot pengatur lalu lintas pun tak luput dari makian.
Bahkan sebagian sirkuit di tubuhnya membuncah terkena lemparan kekesalan
warga.
Mataku menyapu jalanan, lalu terhenti pada
obyek yang bergerak aneh di depan cermin cekung besar sebuah etalase
toko. Bayangannya maya, tegak, diperbesar. Dan rupanya obyek itu tak
begitu asing bagiku. Si Pria badut! Gerakannya yang aneh adalah
gerak-gerik dan mimik muka yang dianggapnya lucu. Tapi tidak buat orang
lain, termasuk aku. Orang-orang cukup dipusingkan dengan kehidupan dan
tak butuh sesuatu yang lucu. Kemudian aku ragu, apakah dia sendiri
menganggapnya lucu? Sedang dia sendiri tak pernah tertawa, bahkan
tersenyum pun tidak! Kelucuan-kelucuan yang dibuatnya selalu bersifat
maya, sama seperti sifat bayangan cermin yang ada di hadapannya kini.
Akhirnya dia putus asa. Beranjak menjauhi toko dengan wajah menatap trotoar.
***
Aku
tak ingat pasti sejak kapan aku mulai suka menantikan kemunculan si Pria badut
di bangku taman ini. Sembari menikmati makan siangku dan mengorupsi
jam kantor. Aku mulai antusias dengan petuah-petuahnya tentang bumi. Bukan
pada gerak-gerik anehnya, tapi pada wejangan dan nasehatnya tentang alam. Tapi kemana gerangan dirinya? Lagi-lagi nihil. Hidung merahnya tak pernah lagi memantulkan spektrum matahari yang hampir padam. Rambut coklatnya tak pernah lagi membiaskan warna emas senja. Tapi aku yakin wajah birunya tak pernah dilunturkan oleh keringat masa. Aku berharap akan selalu ada jejak sejarah dalam setiap langkah nanarnya, yang seharusnya memang tak lucu dan tak patut ditertawakan.
Beberapa hari kemudian, terdengar gelak tawa dari seluruh penjuru kota. Tentu tak seperti biasanya. Kota sekarat yang hampir mati itu telah puluhan tahun tak pernah tertawa. Segera kuketahui sebabnya setelah aku hendak mengunjungi bangku tamanku siang itu. Terkapar menyandar di pohon taman, si Pria badutku. Orang-orang pun menertawakan kematiannya. Sama seperti ketika para leluhur menertawakan kehancuran bumi.
***
Jumlah: 1262 kata.
24 komentar
kamu emang gak lucu, tp kamu romantis dan pandai menggombal...
BalasHapushehehe... kang Eksak, mbakyo ojo korupsi toooooo....
Opo to cah iki?
Hapusgak popo cah
HapusYo wis sing anteng ae!
Hapusntar kalau udah agak gedean dan udah kenal cewek, kamu bakalan malu sendiri dan sebel baca-baca tulisan kamu model gini sak..
BalasHapusLhah! Maksude gimana, Dab! Sumpah gak mudeng aku ... Moga2 aku gak gede2 aja deh! Bhahaha
Hapussungguh tragis..seorang badut yang akhirnya bisa menghadirkan tawa para penonton saat kematian datang menjempiutnya...nice story sobat :-)
BalasHapusMakasih, Bang! Hiks .. *terharu ;-(
HapusDia datang begitu saja. Seperti dimuntahkan oleh cahaya surya yang menyilaukan mata. Awalnya aku terpana dengan makanan dalam sendok yang melayang di udara. Reaksi paling wajar dari seorang wanita yang tiba-tiba dihampiri oleh pria yang tak dikenal sebelumnya adalah, membangun tembok setinggi-tingginya, dinding setebal-tebalnya dan benteng sekokoh-kokohnya. Aku tak pernah suka berjumpa dengan orang baru seperti dia.
BalasHapussaya suka paragraf ini :))
Makasih, Aisy ... ^_^
HapusVisualisasi masa depannya selalu ngeri ya Sak :|
BalasHapusMasa depan emang gak pasti dan gak gampang kedeteksi, Bu! Itu cuma visualisasi buruknya, aja ... So, mulai skrang tugas kita adalah gimana biar itu gak terjadi di kemudian hari. Kita bisa kan bikin masa depan yg lebih baik? :-)
HapusEhm, jangan menertawakan sejarah ah! Nanti jadi badut sejarah legi #eh
BalasHapusInget kata Pak Sukarno: JASMERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah! ;-)
Hapuskesian
BalasHapusKesian? Kalo gitu kesini aja! Hehe..
HapusGambaran masa depan yg menakutkan! Hingga satu kaleng udara saja berharga sama dengan upah minimum kota, dan orang2 jujur hanya mampu makan ektrak kapsul, aah serem sekali.
BalasHapusLumut, tampaknya kita semua harus mulai melestarikan bumi ini. Mungkin dimulai dari hal2 kecil dulu, ya mulai belanja dengan bawa keranjang sendiri (tapi ini agak susah) atau memang sdh saatnya para pedagang memberi kantong kertas dri pd plastik bgi pelanggannya.
Dan, aku rasa si hidung merah itu terlalu banyak makan ekstrak kapsul makanan yg pastinya bungkus kapsulnya terbuat dari bahan kimia sintetik. Tragis bro!
Bener bgt, Ma'e! Kalo gak mulai dari sekarang, so kpn lagi? Dan mulai dari diri kita sendiri.
HapusNgegambarin yg buruk di kemudian hari, menurut gue lebih maknyus buat ningkatin kewaspadaan di hari skrang. Daripada cuma kebayang enaknya aja, kita bakal terleha-leha di zona enak.
Thanks, buat apresiasi Ma'e ... :-)
Lagi-lagi aku mencoba tersenyum, kuharap saty senyum akan berarti untuk nya sore ini.
BalasHapus(like that part) ;)
Mana blog elo? Katanya punya? :-P
HapusLagi-lagi aku mencoba tersenyum, kuharap saty senyum akan berarti untuk nya sore ini.
BalasHapus(like that part) ;)
Mana SIMPLEGIRL nya? ;->
HapusKalo aku jadi Mel, kisah ini pasti menang Mas :) Indah...
BalasHapusCerita Fanny juga bagus, kok! Pasti menang juga! Smoga kita smua menang ... ^_^
Hapus